(K.cerpen, Olivia Agustin 9E)
PERJUANGKAN!
“AAAA-“. Teriakan kedua orang tuaku yang terdengar meleking di telingaku. Aku hanya bisa mendengarkan suara keduanya di dalam lemari baju seorang diri. Tak ada yang menemaniku di malam yang menegangkan ini.
“DUAAAKK”. Suara gedoran pintu terdengar dari luar.
“Angkat tangan kalian semua”. Suara tegas seorang lelaki menggema di telingaku. Sepertinya polisi sudah datang. Aku tersenyum sambil menangis di dalam lemari. Meskipun polisi telah datang aku tetap tidak boleh menangis dengan suara kencang.
Aku membuka sedikit cela lemari agar aku bisa melihat penjahat itu benar-benar telah tertangkap oleh polisi. Dan alangkah terkejutnya aku melihat mayat kedua orangtuaku yang tergeletak tepat di depanku saat ini. Aku menutup mulutku dan hanya bisa memelototi kedua jasad orangtuaku.
Aku melihat penjahat itu sudah di tangkap oleh polisi. Aku lega malam ini tidak terasa begitu panjang. Tapi, trauma yang ku alami akan terus menghantui hidupku selamanya. Aku membuka pintu lemari dan keluar dari lemari. Aku di selamatkan oleh polisi pada malam itu.
– Jum’at, 13 November 1801 –
Itu masa lalu yang tidak bisa aku lupakan. Pada umur 7 tahun, Peristiwa yang tidak pernah aku bayangkan terjadi malah terjadi di usiaku yang begitu muda. Wajar saja bila hal itu terjadi, Karena zaman ini di penuhi oleh panasnya api perselisihan antarnegara. Inilah aku, lipy namaku. Sekarang ini usiaku telah menginjak umur 18 tahun. Tahun dimana anak seusiaku akan menempuh pendidikan akhir mereka dan akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Dimana mereka di ajarkan untuk menjadi apa saja yang mereka inginkan.
Aku yang sebatang kara ini hanya bisa menyaksikan mereka yang berlalu lalang di depan perpustakaan yang aku tinggali bersama dengan mbah Gyan yang telah mengadopsi ku sejak peristiwa itu terjadi. Mbah Gyan adalah seorang kakek tua yang hidup seorang diri merawat perpustakaan yang cukup terkenal di kalangan orang kota sini.
Aku setiap hari membantu kakek untuk menata buku yang ada di perpustakaan ini. Setelah semuanya beres, aku menyelipkan waktu untuk membaca buku-buku yang ada disini. Banyak orang yang datang kesini untuk sekedar membaca ataupun mencari informasi untuk tugas yang di kerjakan nya.
“Hei, lipy”. Seseorang memanggilku. Lantas aku menoleh ke arahnya. Ternyata dia adalah Gibran. Salah seorang pelajar yang aku kenal karena ia sering mengunjungi perpustakaan ini untuk mengerjakan tugasnya. Dan kadang ia hanya sekedar menyapa dan membaca buku-buku yang ada disini.
“Halo, bran”. Jawabku kepada gibran sambil tersenyum.
“Bagaimana kabarmu?”. Tanya gibran sambil tersenyum kearahku.
“Baik, kau sendiri bagaimana?”. Tanyaku balik.
“Me too”. Jawabnya dengan bahasa Inggris. Dia sengaja ya supaya aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan.
“Ish- pakai bahasa asing lagi. Aku gatau maksudnya”. Jawabku cemberut. Gibran hanya bisa tertawa melihat ku yang sebegitu polosnya masalah bahasa asing.
“Tumben sendiri, dimana mila? Biasanya dia bersamamu kan?”. Tanyaku ke gibran.
“Mana ku tau. Biasanya Mila yang nyamperin aku. Aku ga pernah nyamperin Mila. Lagian aku juga lebih suka jalan sendiri daripada sama dia. Aku di tuduh terus sama yang lain kalau aku sama Mila punya hubungan spesial”. Ucap gibran.
“Kalian emang kayak sepasang kekasih”. Jawabku sambil tertawa.
“Ha?! Engga kok! Aku ga ada apa-apa sama mila!”. Jawab gibran dengan penuh amarah. Aku hanya bisa tertawa melihatnya.
“Oh iya, sebentar lagi kan mau tahun baru dan lulusan sekolah dasar akan usai. Kamu ingin meneruskan ke universitas?”. Tanyaku penasaran.
“Entahlah, niatku memang ingin meneruskan. Tapi aku gatau aku benar-benar punya niat atau engga”. Jawab gibran.
Dia seorang anak tunggal pedagang kaya yang ada di kota ini. Anak paling kaya yang ada di sini. Memiliki banyak tanah dan juga ladang sawah yang begitu luas. Jelas saja gibran bilang begitu. Meskipun ia tidak meneruskan pun dia pasti bisa mengurus warisan yang di berikan kepadanya.
Berbeda denganku yang tidak memiliki masa depan yang jelas. Kecuali, mengurus perpustakaan ini. Aku ingin masuk universitas. Tapi, aku sadar diri bahwa aku seorang wanita yang tidak menuntut ilmu di sekolah dasar. Apa aku bisa?
“Bagaimana denganmu py?”. Tanya gibran.
“Ee- aku?”. Tanyaku tidak percaya. Gibran mengangguk, mengiyakan pertanyaan yang aku lontarkan.
“Yaa.. ga mungkin aku bisa masuk universitas. Aku kan ga sekolah dasar”. Jawabku ragu-ragu. Gibran tersenyum padaku.
“Kamu bisa kok, Pakai beasiswa”. Ucap gibran.
“Beasiswa?”. Tanyaku tidak mengerti
“Iya, beasiswa itu pemberian berupa bantuan keuangan yang diberikan kepada perorangan yang bertujuan untuk digunakan demi keberlangsungan pendidikan yang ditempuh. Bantuan ini diberikan kepada perorangan yang tidak sekolah dasar maupun sekolah dasar. Ada beberapa bantuan yang di berikan oleh universitas di sekitar sini. Contohnya universitas tarunasian”. Jelas gibran.
“Itu untuk orang sipil?”. Tanyaku. Gibran mengangguk sekali lagi.
“Syarat nya bisa kamu lihat di brosur nya”. Ucap gibran. Aku hanya mengangguk dan tersenyum senang mendengarnya.
“Aku pikir kamu sudah tahu soal ini. Jika kamu ingin masuk jalur beasiswa jangan lupa banyak belajar. Apalagi kamu yang engga ikut sekolah dasar terlebih dulu. Pasti banyak saingan yang hebat-hebat”. Tegas gibran padaku. Aku mengangguk sekali lagi.
Kalau begitu aku harus mulai rajin belajar supaya aku bisa masuk ke universitas. Impianku sejak kecil akhirnya bisa aku gapai meskipun tidak mudah.
“Gimana?”. Tanya gibran.
“Tentu aku akan berusaha. Aku juga ingin minta izin ke mbah Gyan dulu”.
“Pasti di bolehin. Aku akan membantumu belajar”. Seru gibran padaku. Aku senang mendengarnya.
Gibran mengambil buku tentang politik. Sepertinya dia ingin mengambil jurusan politik kedepannya. Meskipun itu tidak mudah, tapi aku tau gibran pasti bisa.
– selasa, 22 Desember 1708, 10.05 AM –
“Mbah gyan”. Panggilku ke mbah gyan yang sudah sepuh.
“Iyah nak lipy, ada apa?”. Tanya mbah gyan.
“Mbah, lipy boleh masuk universitas ga?”. Mbah gyan terkejut mendengar pertanyaan yang baru saja aku lontarkan.
“Tapi, mbah gyan ga punya uang untuk menyekolahkan mu. Apalagi kamu kan ga ikut sekolah dasar. Ga mungkin bisa”. Ucap mbah gyan
“Aku tau mbah. Tapi kata gibran tadi ada yang namanya beasiswa. Beasiswa ini bantuan keuangan yang diberikan kepada perorangan yang bertujuan untuk digunakan demi keberlangsungan pendidikan yang ditempuh. Dan beasiswa ini dapat didapatkan oleh orang yang ga sekolah dasar loh kek”. Jelasku ke mbah gyan.
“Tapi, memang kamu bisa mendapatkan nya?”. Tanya mbah gyan ragu.
“Pasti bisa!”. Jawabku optimis.
“Baiklah kalau kamu bisa. Mbah pasti selalu dukung kamu”. Aku bahagia sekali mendengarnya. Aku langsung memeluk mbah gyan yang sudah sepuh itu.
“Terimakasih mbah gyan. Lipy janji ga akan ngecewain mbah gyan”. Ucapku sambil memeluk mbah gyan.
– selasa, 22 Desember 1812, 07.45 PM –
Keesokan paginya, aku bertemu dengan gibran dan mila. Mereka membantuku untuk belajar agar aku bisa masuk universitas bersama. Hari ini mereka libur sekolah setelah melaksanakan ujian kelulusan mereka.
“Ini matematika?”. Tanyaku ke mila
“Bukan, ini sosiologi. Yaa iya lah matematika. Ilmu yang paling ribet”. Jawab mila.
“Ribet? Ini malah mudah banget. Aku setiap hari belajar matematika tanpa di ajar kok”. Mila melotot kan matanya kepadaku tidak percaya. Gibran hanya bisa tertawa melihat kelakuan ku dan Mila.
“Emang yaa, otakmu itu dari apa sih py? Aku bingung sama kamu loh”. Tanya mila.
“Jangan tanya aku. Tanya tuhan”. Jawabku sambil tertawa. Gibran hanya bisa menggelengkan kepala tertawa melihat ku.
“Aku bisa karena buku-buku yang ada disini. Aku juga sedikit bertanya kepada orang yang mengerti persoalan matematika. Makanya, aku bisa mengerti matematika. Menurutku memang susah tapi ga mungkin gabisa”. Ujarku menyemangati Mila.
“Betul tuh mil. Belajar dari Lipy dong”. Ucap gibran.
“Yaa.. gimana yak. Aku kan emang susah nangkap pelajaran, bran. Ga kayak lipy yang meskipun ga sekolah dasar tapi tekun belajar pun bisa nangkap informasi dari sekitarnya”. Tegas Mila tidak mau kalah.
“Semua orang bisa kok kalau bersungguh-sungguh. Memang semua memiliki jalan yang berbeda untuk bisa memahami apa yang akan di lalui. Contohnya pelajaran matematika ini”. Ucapku memotivasi. Keduanya menganggukkan kepala mengerti jelas maksud dari kata-kata ku.
Kami melanjutkan belajar bersama untuk ujian masuk universitas yang kami inginkan. Dengan canda tawa yang menghiasi usaha kami bersama.
– Rabu, 23 Desember 1812, 08.00 –
3 jam berlalu. Aku,gibran dan Mila memutuskan untuk pergi keluar bersama untuk mencari suasana baru. Kami berjalan-jalan di pasar untuk mencari peralatan melukis. Kami berniat berjalan-jalan sambil mencari tempat yang bagus untuk di lukis.
Aku hobi melukis sejak kecil. Aku menyukai warna-warna yang melekat dalam kanvas yang dapat menciptakan suasana yang menenangkan hati. Aku mengembangkan hobiku menjadi bakat, yang lumayan digemari orang-orang sekarang ini untuk mencari waktu luang. Karena, seni itu luas dan bebas.
Kami mengunjungi salah satu tokoh lukis yang kami kenal. Toko Can Media adalah toko lukis yang lumayan terkenal disini. Kami sangat mengenal pemilik toko ini. Karena, suatu kejadian yang tidak disengaja membuat kami kenal dekat dengan beliau.
“Selamat datang. Uwah kalian ingin beli atau sekedar berkunjung?”. Tanya pak asok pemilik toko Can Media.
“Ingin beli kok pak asok. Kami ingin melukis pak asok”. Jawab gibran sambil bercanda.
“Bisa aja kamu, bran. Lagian kalian mau melukis dimana?”. Tanya pak asok penasaran.
“Mau melukis pemandangan saja kok pak. Ga aneh-aneh”. Jawab Mila.
“Hmm, aku ingat jelas saat kita ketemu karena kalian yang ingin melukis pemandangan perbukitan tapi kalian malah saling bertengkar. Tidak mau saling membagi cat minyak. Terutama kamu Mila yang pelitnya minta ampun”. Ucap pak asok sambil bernostalgia.
“Aku mah sayang cat minyak dulu. Karena emang di suruh hemat sama paman. Cat nya bukan milikku”. Ujar Mila membela diri.
“Meskipun begitu kan kamu juga harus ngasih sedikit ke yang lain dong”. Kata pak asok.
“Ga kayak kenal paman ku aja pak usok ini. Sekali marah auto bergetar kota ini. Berisik nya minta ampun”. Pak usok dan kami berdua tertawa mendengar cerita masa lalu kami.
“Kamu ga salah mil. Memang kalo paman mu itu sudah marah, satu kota tahu semua. Haha”. Kami semua tertawa mendengarnya.
“Oh ya, nak Lipy. Gimana kabar mbah Gyan sekarang?. Sudah lama pak usok ga mendengarnya”. Tanya pak usok.
“Baik kok pak usok. Perpustakaan juga semakin ramai akhir-akhir ini”. Jawabku.
“Baguslah kalau begitu. Aku ikut senang”. Ucap pak usok
“Pak usok, aku lagi nyari kuas yang kualitasnya tinggi. Ada yang bagus ga pak?. Kuas ku sudah mekar semua”. Tanya gibran.
“Ada kok. Tenang, kalau sama pak usok mah semuanya ada”. Ujar pak usok
– Rabu, 23 Desember 1812, 10.00 AM –
Setelah beberapa menit kami mencari alat yang kami butuhkan dan berbincang-bincang sedikit dengan pak usok. Akhirnya, kami pergi ke tempat yang ingin kami lukis. Kali ini, kami menggambar jalan perempatan yang terdapat patung lambang kota ini.
Beberapa jam kami lalui untuk melukis bersama. Tidak luput dari canda tawa yang terhias di wajah kami. Setelah menggambar kami memutuskan untuk menjemurnya di rumah Gibran. Sekalian kami juga bermain di rumah Gibran. Sudah lama kebahagiaan ini terulang kembali.
– Rabu, 23 Desember 1812, 01.00 PM –
Setiap hari kami lalui bersama dengan belajar dengan giat. Demi bisa masuk universitas yang kami inginkan. Sampai hari yang telah di nantikan tiba. Hari pendaftaran ke universitas Gunadarma yang berada tidak jauh dari rumah kami. Aku berjalan menuju gerbang universitas dan aku melihat denah yang sudah tersedia di depan gerbang. Tempat seleksi ujian masuk khusus beasiswa berasa di sebelah taman bagian barat.
Aku menuju taman barat universitas Gunadarma. Aku melihat banyak sekali peserta yang ikut disini yang sedang menikmati indahnya universitas ini. Aku berjalan menuju ruangan seleksi yang berada di sebelahnya. Aku masuk kedalamnya dan aku dapat merasakan aura ketegangan diantara mereka semua. Aku juga ikut gugup untuk melaksanakan seleksi ini
Aku duduk di bangku yang kosong. Aku tidak mau menyapa siapa-siapa karena aku takut aku tidak diterima disini. Aku sadar diri aku tidak seberapa dari mereka.
15 menit telah berlalu. Bel masuk telah berbunyi. Dan salah seorang pengawas masuk ke dalam ruangan dan menyapa dengan hangat.
“Selamat pagi, apa kalian sudah siap untuk melaksanakan seleksi ujian masuk khusus beasiswa ini?. Saya tegaskan bahwa ujian ini lebih sulit daripada peserta seleksi reguler. Karena seleksi ini khusu beasiswa. Maka, nilai yang kalian terima minimal A. jika kalian beruntung kalian bisa mendapatkan A+ dan akan langsung diterima masuk dengan beasiswa. Tapi perlu kalian ingat, beasiswa ini hanya di berikan kepada 2 peserta seleksi yang dapat menyelesaikan dengan nilai memuaskan. Faham?”. Kata pengawas itu dengan tegas. Semua peserta mengangguk paham. Termasuk aku.
“Baik, kita mulai”.
– Senin, 11 Januari 1813, 07.15 AM –
Aku sangat tegang. Hari ini adalah hari keputusan ujian seleksi masuk tidaknya peserta beasiswa. Aku tidak henti-henti nya berdoa untuk hasil yang memuaskan.
Mbah gyan yang melihat ku mondar-mandir tidak jelas mulai sedikit khawatir.
“Nah lipy”. Panggil mbah gyan.
“Iya mbah?”. Jawabku.
“Kemarilah”. Aku mendekati mbah gyan.
“Tidak perlu khawatir. Jika memang tidak masuk maka tidak apa-apa. Lagian semuanya sudah kamu perjuangkan. Yang penting kamu sudah berusaha semaksimal mungkin”. Ucap mbah gyan menyemangati.
“Iya mbah, lipy tau kok”. Aku tersenyum ke mbah gyan. Dan mbah gyan ikut tersenyum kepadaku.
“SURAAATT!!!”. Suara pak pos terdengar keras di telingaku. Lantas aku berlari menuju pintu perpustakaan dan langsung mengambil surat keputusan yang di berikan universitas Gunadarma kepadaku.
“Terimakasih yaa”. Ucapku dengan senyum.
“Sama-sama”. Ucap pak pos sambil membungkukkan sedikit badannya dan mengangkat topinya. Aku ikut membungkuk.
Aku masuk ke dalam perpus dengan diiringi kegelisahan dalam diriku. Mbah gyan mengelus punggungku seraya tersenyum padaku. Aku menguatkan diriku untuk membuka surat ini.
Aku membuka surat itu. Dan alangkah terkejutnya aku melihat hasilnya. “Selamat, Ananda Lipy Gustina LULUS seleksi mahasiswa beasiswa universitas Gunadarma”.
Aku menjerit kesenangan dan langsung memeluk mbah gyan dengan hati yang bahagia. Aku meneteskan air mata bahagia. Usaha yang telah aku lalui bersama Mila dan Gibran tidak mengkhianati hasil.
“LIPYYY!!!!”. Gibran dan Mila meneriaki ku dari jauh.
“Huft- huft- huft- bagaimana hasilnya?”. Tanya Mila dengan suara terengah-engah.
“Aku berhasil”. Aku menjawab dengan tersenyum sambil menangis.
“SELAMAT!!”. Ucap mereka berdua dan langsung memelukku.
“Bagaimana dengan kalian?”. Tanyaku sambil mengusap air mataku.
“Tidak perlu di ragukan lagi dong”. Ucap gibran dengan bangga. Aku tersenyum dan memeluk mereka berdua.
“SELAMAT YAK”.
– Senin, 18 Januari 1813, 08.12 AM –
Setiap perjuangan memiliki hikmah yang dapat kita petik bersama. perjuangan tidak selalu berakhir bahagia, terkadang kita dijatuhkan untuk dibangkitkan kembali. Semuanya butuh proses. Trust the process, i know we can do it.
– Author –