Karya Novi Wahyuningsih
“Aku ga suka sama Mama,” ucap Alen datar sembari menatapku
Deg
Jantungku seperti tertusuk ribuan jarum setelah mendengar kalimat yang keluar dari bibir putriku sendiri, putri kandungku.
Dengan nada bergetar aku mulai menjawab perkataan putriku sembari mengusap lembut surainya, “Kenapa Alen bilang gitu sama Mama? Alen lagi bercanda ya? Lain kali bercandanya jangan kaya gitu yaa!”
“Ga usah usap-usap rambut Alen! Alen benci punya Mama kaya Mama Manda! Kenapa ngga Bi Rami aja yang jadi Mama Alen? Kenapa harus Mama? Bi Rami selalu ada di saat Alen butuh, sedangkan Mama ngga ada. Padahal Mama ini adalah Mama kandung Alen,” sahut Alen membentak dan menepis tanganku dari rambutnya
“Kenapa Alen benci sama Mama? Apa salah Mama? Bilang yaa biar Mama bisa memperbaiki kesalahan Mama,” tanyaku dengan nada sedih yang kusembunyikan
“Mama selalu sibuk sama pekerjaan Mama, Mama ga pernah peduli sama Alen. Alen juga pingin kaya temen-temen yang selalu diantar jemput Mamanya, disuapin Mamanya, dan dibacain dongeng sebelum tidur. Alen mau kaya gitu Ma! Tapi Mama selalu sibuk dan ga ada waktu luang buat Alen. Alen sedih Ma… hiks hiks hiks,” terang Alen sambil menangis
“Maafin Mama Alen,” sahutku sembari merengkuh Alen
Perdebatan ini selalu saja terjadi. Namun, baru kali ini Alen menangis histeris perihal aku yang sibuk dengan pekerjaanku. Bukannya aku tidak memperdulikan Alen, aku sudah memberikan tanggung jawabku kepada Kakakku untuk manjaga Alen saat aku sedang tidak berada di rumah. Namun, Alen menganggap bahwa aku tidak menyayanginya. Tapi aku bisa apa? Resiko menjadi orang tua tunggal sudah aku terima sejak perceraianku dengan mantan suamiku.
________________________________________
Sudah 3 hari sejak perdebatan itu berlalu dan berujung aku yang meminta maaf. Pikiranku selalu dipenuhi oleh Alen. Sampai beberapa hari ini pun bos ku sudah menegurku agar aku fokus dengan pekerjaanku. Namun, bagaimana bisa aku fokus jika yang mengganggu pikiranku adalah putriku sendiri. Terlebih Kak Rami atau biasa disebut Bi Rami selaku Kakakku yang juga mengasuh Alen mengeluh karena Alen tidak bisa dibujuk untuk makan atau sekedar keluar kamar.
Aku terkejut saat tiba-tiba Bela rekan kantorku datang dan menegurku, “Mbak, kamu ga papa? Kok mukanya pucat?”
Aku tersenyum saat rekanku menanyakan keadaanku, lantas akupun menjawab dengan tenang, “Masa iya Bel? Aku ga papa kok kamu tenang aja ya!”
“Mbak beneran ga papa kan? Kok mata Mbak tambah kuning ya? Bulan lalu ga se-kuning itu deh Mbak,” tanya Bela curiga sembari memincingkan matanya
“Astaga Bela kamu ini teliti sekali yaa! Tapi beneran deh Bel, Mbak ga papa,” jawabku santai sambil memukul pelan bahu Bela
“Kalo Mbak butuh bantuan, panggil Bela aja ya, nanti Bela bantu,” ucap Bela lembut sembari mengusap bahuku
“Iya Bel, kamu tenang aja,” jawabku tersenyum
Setelah kepergian Bela, aku melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Namun, beberapa menit kamudian kepalaku terasa sangat pusing dan sakit, pengelihatanku memburam. Namun, aku berusaha agar tetap sadar. Tapi, takdir berkata lain, sekuat apapun aku berusaha tubuhku tetap tumbang dan pengelihatanku pun mulai menggelap.
_________________________________________
Mataku mengerjap saat kesadaranku mulai kembali. Aku mengernyit bingung saat kudapati diriku berada di atas ranjang rumah sakit, bau obat yang menusuk membuatku mengetahui keberadaanku saat ini.
Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku, “Ibu bisa mendengar suara saya?”
Aku melihat sekeliling dan menemukan seorang dokter yang bertanya kepadaku, akupun hanya mengangguk
Dokter menghela nafas lega, namun sepertinya ada sesuatu yang ingin dia katakan kepadaku, “Bu, maaf apakah ada keluarga yang bisa saya hubungi?”
Aku mengernyit curiga saat dokter menanyakan keberadaan keluargaku, bukannya aku hanya pingsan? Bukan penyakit parah yang membutuhkan kedatangan keluarga. Akupun menjawab dengan perasaan was-was, “Memang Kenapa dok? Apakah penyakit saya parah?”
“Ibu, sebenarnya ibu mengidap infeksi hepatitis akut, infeksi ini sudah sangat parah bu, dan harus segera melakukan transplantasi hati,” jawab dokter tersebut pelan
Aku terkejut saat mendengar jawaban dari dokter tersebut. Dan apa? Transplantasi hati? Aku mulai putus asa saat mendengar kata transplantasi, uangku tidak sebanyak itu untuk melakukannya. Akupun menghela nafas dan menguatkan hatiku untuk bertanya sekali lagi kepada dokter tersebut, “Berapa lama saya akan bertahan dok?”
Menghela nafas sebentar lalu dokter pun menjawab, “Kurang lebih hanya 1 bulan bu, namun jika ibu mau untuk melakukan transplantasi hati, kemungkinan besar bisa sembuh.”
Aku cukup tahu tentang infeksi hepatitis akut ini dan memang sudah kuduga bahwa hidupku tidak akan lama lagi, Akupun hanya bisa berdoa dan meminum obat yang akan diberikan dokter kepadaku tanpa melakukan transplantasi hati, itu keputusanku saat ini.
Akupun teringat dengan putriku yang masih tidak mau keluar kamar, Aku pun bergegas meminta izin kepada dokter untuk segera pulang, “Terima kasih dok untuk informasinya. Saya ingin pulang sekarang, boleh kan dok?”
“Boleh, tapi setelah infus ini habis ya bu, nanti jika ada keluhan lain ibu bisa kembali ke sini ya bu. Namun jika bisa ibu rawat inap di sini saja, biar kita semua bisa memantau kondisi ibu,” jawab dokter tersebut lembut
“Saya ingin pulang saja dok,” finalku
“Baiklah, tunggu infusnya habis dulu ya bu. Dan jangan lupa tebus obatnya. Kalau begitu saya tinggal dulu,” jawab dokter lalu berlalu pergi
Sepulangnya dari rumah sakit aku menghela nafas lelah dan menangis, teringat akan hidupku yang sudah tidak lama lagi dan nasib putriku nanti setelah diriku tiada. Aku berfikir bahwa ini adalah kesempatan terakhirku untuk membuat putriku bahagia. Dan secepatnya aku harus memberitahukan hal ini kepada Kak Rami, semoga saja beliau sanggup mengasuh Alen hingga beranjak dewasa.
_________________________________________
Hari ini adalah hari aku memulai untuk mengisi waktu-waktu terakhirku dengan Alen. Satu bulan ini akan aku gunakan sebaik-baiknya.
Di hari pertama aku memulainya dengan hal-hal yang tidak pernah aku lakukan dengan Alen, seperti mengajaknya jalan-jalan, membacakan dongeng, menyuapinya, dan mengantarkannya ke sekolah. Namun, respon Alen membuatku ingin menangis rasanya karena dia tidak menanggapi perkataanku, ucapannya kepadaku pun terkesan datar dan cuek. Tapi, aku memakluminya dan bertekad akan terus berusaha memperbaiki hubunganku dengan Alen.
Tidak terasa hampir satu bulan aku lalui waktuku dengan Alen. Aku sedikit merasa bahagia karena sikap Alen kepadaku perlahan mulai luluh. Namun, bukan berarti dia sudah membuka hatinya kepadaku. Meskipun perubahan Alen membuat diriku bahagia, tak bisa kupungkiri bahwa perlahan tubuhku mulai berubah. Aku mulai sering merasa lelah, penyakitku pun semakin parah, fisikku sudah sangat sakit. Tepat tiga hari sebelum aku meregang nyawa, aku mengajak Alen ke suatu tempat. Tempat yang sangat-sangat jauh dari keramaian, tempat yang tenang. Tepatnya di sebuah danau. Aku memulai pembicaraan seriusku kepada Alen. Aku berkata kepadanya, “Apakah Alen siap jika nanti Mama tidak ada?”
Aku tertawa karena dia terlihat bingung saat aku menanyakannya, lalu aku merubah pertanyaannya dengan mengatakan, “Alen kalo Mama pergi, Alen sedih ngga?” dan aku tidak menyangka bahwa dia akan menjawab pertanyaanku.
Dia menjawab dengan lirih dan berkata, “Mama pergi ke mana? Alen mau ikut!”
Aku tertawa kecil mendengarnya lalu aku mengecup keningnya dan merengkuhnya.
Lalu aku membisikkan sesuatu di telinganya dan berkata, “Nak, manusia itu pasti akan meninggalkan dunia ini, meninggalkan semua keluarga dan orang-orang terdekatnya, begitu pula dengan Mama, Mama juga akan pergi, tapi Alen tidak bisa ikut, belum waktunya Alen ikut Mama, nanti kalo sudah waktunya Alen akan bertemu Mama di atas sana, Alen paham kan maksud Mama?” Alen hanya terdiam lalu mengangguk. Aku merengkuhnya lebih erat lagi, seolah sesuatu di dalam diriku ini enggan untuk berpisah dengan Alen.
Tepat setelah aku sampai di rumah, tubuhku langsung ambruk dan saat aku mulai membuka mata, aku menyadari bahwa diriku sudah berada di rumah sakit. Kulihat sekelilingku dan menemukan Alen yang menangis lirih sembari memelukku erat.
Aku mulai menggerakkan tanganku dan mengusap kepalanya pelan, Alen terusik dan langsung melihatku, dia terkejut dan kembali memelukku sembari menangis dengan histeris, dia berkata, “Mamaa jangan tinggalin Alen, Alen tadi di beri tahu dokter kalo Mama sakit parah. Alen minta maaf karena tidak tau kalo Mama sakit. Kenapa Mama tidak bilang ke Alen kalo sakit? Alen ga mau ya di tinggalin Mama lagi, Alen udah terlanjur sayang sama Mama, kalo Mama pergi Alen juga ikut pergi!” entah mengapa mendengar perkataan Alen membuat hatiku menghangat, hatiku merasa lega karena Alen tidak lagi marah kepadaku, dan mulai membuka hatinya lagi untukku. Namun, semua sudah terlambat. Karena besok kemungkinan adalah hari terakhirku di dunia ini.
_______________________________________
Pagi ini langit nampak cerah, burung bernyanyi dengan merdu, sinar mentari masuk melalui celah-celah jendela. Tidurku terusik karenanya, aku mulai mengerjap pelan dan melihat Alen tertidur disampingku dengan lelap. Aku menangis karena kemungkinan hari ini adalah hari terakhirku melihat Alen. Tampaknya suara tangisku membuat tidur Alen terganggu.
Alen mulai membuka matanya dan mulai bertanya kepadaku, “Mama kenapa? Ada yang sakit? Alen panggil dokter ya?”
Aku hanya menggeleng mendengar pertanyaannya, tanganku terulur untuk membelai pipinya dan mengucapkan kalimat bahwa aku baik-baik saja. Momen demi momen aku dapatkan hari itu, sampai menjelang tengah malam, sakitku mulai kambuh, dan aku mulai merasakan bahwa inilah akhir dari hidupku.
Saat kesadaranku sudah diambang batas, aku melihat Alen yang menangis histeris dan memohon kepadaku untuk tidak pergi meninggalkannya, “Alen sayang Mama, jangan tinggalin Alen Ma! Alen minta maaf sama Mama, Maaf Alen selalu cuek sama Mama, maafin Alen Ma…, jangan pergi tinggalin Alen!!”
Tidak tega rasanya melihat Alen dengan keadaan yang seperti ini. Namun, aku bisa apa? Aku hanya sedikit memberikan kata-kata penenang agar putriku bisa menerima kepergianku nanti dengan ikhlas, “Maafin Mama juga Al, Mama ga bisa bahagiain kamu. Mama minta maaf yaa, Mama juga mau ngucapin terima kasih karena kamu udah mau jadi anak Mama. Mama ga nyesel punya anak kaya kamu Al, tetep jadi kebanggaan Mama ya, kalo Mama udah ga ada Alen ga boleh sedih ya! Alen harus jadi anak yang kuat, okey?”
Setelah mengatakan hal tersebut dadaku terasa sangat sesak, sakit yang beberapa hari kemarin hilang kini datang kembali dengan sakit yang teramat kuat. Tangisan Alen dan rasa sakit yang menimpa tubuhku membuat aku ingin segera kembali kepada-Nya, “Jangan Ma… jangan tinggalin Alen! Alen janji bakalan jadi anak yang baik, tapi Mama ga boleh pergi ninggalin Alen!”
Aku mulai merasakan kehadiran-Nya dan di detik-detik terakhir aku meninggalkan ragaku, aku membisikkan kata-kata terakhir untuk putriku, “Maafin Mama Alen.”
” MAMAAAA!!!!”, teriak Alen histeris